Memandangi foto terakhirku di Islamic
Boarding School yang setara dengan SMA-ku dulu, membuatku teringat kembali
bagaimana aku melalui hari di tempat itu selama tiga tahun. Tiga tahun lamanya
aku berada di penjara suci itu, melewati berbagai suka dan duka dengan
kesabaran dan tangisan. Meskipun pada awalnya dipaksa Ayah Bunda, namun
sampailah aku dipenghujung waktu, yang berarti aku telah berhasil menyelesaikan
pendidikanku di sekolah tingkat menengah atas.
Selalu tergambar raut wajah Ayah dan
Bunda yang Nampak sedih saat melepas kepergianku dulu. Betapa tidak, aku yang
berbadan kurus, susah makan dan belum bisa merawat diri dengan baik,
ditinggalkan disebuah pesantren yang tak satupun orang kukenal. Inilah
pendidikan yang Ayah tanamkan kepada kami, anak-anaknya. Selepas menyelesaikan
pendidikan menengah pertama, Ayah mewajibkan kami untuk melanjutkan sekolah ke
Pondok Pesantren.
Ketika teman-temanku diterima
diberbagai sekolah favorit, aku hanya tertunduk iri karena tak dapat menjadi
bagian dari mereka. Aku hanya tertunduk dan berusaha melapangkan hati dan
meyakinkan diri bahwa aku akan berhijrah ke tempat yang lebih baik dari mereka.
Ke tempat orang-orang istimewa karena hanya sedikit orang memilihnya, ke tempat
yang banyak orang menjulukinya sebagai tempat pembuangan anak-anak nakal. Air
mata pun menetes…
“Abah, Ibu, ‘Afi nakal ya? Sampai-sampai
Abah mendaftarkan ‘Afi ke pesantren? ‘Afi
ga mau sekolah di Pesantren, ‘Afi pengen masuk SMA favorit!” ucapku berusaha
mengajukan pembelaan. Namun dengan raut wajahnya yang teduh dan kata-katanya
yang lembut, Abah mematahkan argumenku “Afiyah… Abah hanya ingin ‘Afi belajar
sungguh-sungguh, Abah hanya ingin ‘Afi ibadah dengan baik, Abah hanya ingin ‘Afi
jadi anak solehah. Apa Abah salah? Abah tidak mau ‘Afi hanya jadi wanita biasa,
Abah pengen ‘Afi jadi wanita istimewa. Abah tidak mau ‘Afi sekolah hanya karena
gengsi. Abah ingin ‘Afi menuntut ilmu karena Allah. Tenangkan dirimu lalu
istikhorohlah, Allah maha tahu yang terbaik untuk ‘Afi”. Akupun menghapus
linangan air mata.
Ayahku selalu begitu, tak pernah
memarahiku. Selalu menasehati dengan lembut dan membuat aku berfikir lebih
dewasa. Hari ini, aku rindu Abahku pahlawanku, yang selalu menghapus air mataku
dan membuatku tegar. Abah… maafkan Fifi yang s’lalu mengecewakanmu…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar