Itu cerita tentang empat sahabat Rasulullah saw yang sama-sama kehausan dalam suatu pertempuran. Tapi air yang tersedia tidak cukup untuk mereka berempat. Maka masing-masing mereka mendahulukan saudaranya. Sampai gelas itu berkeliling tanpa satu pun yang minum. Begitu ia sampai pada prajurit pertama, ternyata ia sudah syahid. Begitu juga yang kedua, ketiga dan keempat. Itu “itsar” dalam bahasa agama kita. Semua gugur jadi syuhada. Semua tegak jadi saksi cinta.
Bisa. Bisa. Kita bisa menunjukan keluhuran tertinggi semacam itu di saat yang paling sulit. Itu bukan sekedar cerita cinta yang hanya bisa diriwayatkan dalam sahabat-sahabat Rasulullah saw. Kita bisa meriwayatkannya juga dalam kehidupan kita. Seperti pada badai tsunami lalu. Kita bisa bersatu atas nama cinta: maka ketika badai meluluhlantakan Serambi Mekah, cinta mengalir kesana lebih dahsyat. Kita bahkan tidak pernah punya sejarah cinta sebagai sebuah bangsa seperti pada peristiwa tsunami itu.
Sebab ketika Allah mempersaudarakan orang-orang beriman, ia hanya ingin mangatakan bahwa komunitas sosial kita harus diikat dengan cinta yang lahir dari iman. Hanya dengan begitu kita bisa menentukan kekuatan perekat abadi, tembus masa dan ruang, dan bebas dari berbagai perubahan situasi. Disaat persatuan bangsa dipertaruhkan di tengah badai alam atau politik atau ekonomi atau sosial atau keamanan, cinta adalah satu-satunya jawaban.
Cinta
yang besarlah yang memungkinkan Rasulullah saw menyatukan para penghuni
jazirah Arab yang normad, badui dan buta huruf serta tumbuh dalam
struktur sosial berbasis kabilah yang kompleks. Seperti ketika
Rasulullah saw menyatukan suku Aus dan Khazraj yang terseparasi dalam
perang selama 40 tahun, serta menjadikan mereka semua sebagai kaum
Anshar, yang kelak menyatu dengan Muhajirin dari suku Quraisy. Bahkan
ketika “kearifan politik” menurut beliau memberikan semua harta rampasan
perang kepada kaum Quraisy yang baru saja masuk islam, yang terkesan
“tidak adil” di hati kaum Anshar, Rasulullah saw hanya memberikan
jawaban cintanya: “Bisakah kalian rela bahwa jatah kalian adalah
Rasulullah saw?” Fathu Makkah bahkan tidak lagi menggoda beliau untuk
kembali ke Makkah. Raganya ada di Madinah. Hatinya ada di dalam hati
kaum Anshar. Kaum Anshar menangis. Cinta menghadirkan makna lain dalam
kehidupan sosial politik kita. Dan mengangkat kita ke ketinggian ruh
yang mungkin sulit dijangkau oleh kepentingan sesaat.
Masih mungkin! Masih mungkin kita menyatukan bangsa yang terdiri dari 300 suku dan bahasa. Bahkan juga bangsa-bangsa dunia Islam. Dengan cinta. Cinta misi. Dan hanya itu.
Sumber: http://serialcinta.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar