Aku, mimpiku, azzamku, masih tetap sama...
meskipun aku sang pemimpi yang sering kali melupakan ikhtiar untuk mencapai mimpi itu
Aku bersyukur Allah selalu memberi yang terbaik untukku,
saat ini, Allah sudah memberiku pasangan hidup yang begitu menenangkan.
Usia pernikahan kami genap 4 bulan, masih seumur jagung,
dan mimpiku selanjutnya adalah ingin menjadi seorang ibu... :')
Sampai saat ini, belum ada tanda-tanda kehadiran cabang bayi dalam rahimku, semoga dapat segera Allah berikan. Aamiin...
Meskipun aku belum bisa mengurus seorang anak, aku akan belajar... :)
30 Agustus 2017
18 Agustus 2017
Alhamdulillah SAH! :D
Allah sebaik-baiknya perencana...
Tanggal 19 September 2016 masuk sebuah proposal pernikahan dari MR ku via email. Aku yang saat itu berusia 23,5 tahun memang sudah berniat untuk menggenapkan separuh dien. Merasa tak asing dengan identitas dalam proposal, aku ulangi membaca proposal itu berkali-kali. Ya, ia adalah adik kelasku ketika di kampus, kami terpaut beda 2 angkatan, meskipun usia kami hampir sama.
Akhirnya proses itu berlanjut hingga kukirim curiculum vitae ku. Aku lupa tanggal berapa orang tuanya datang ke rumahku untuk pertama kalinya, saat itu yang datang hanya bapaknya, seorang diri, untuk mengkhitbah anak gadis yang padahal baru ia temui saat itu.
Tanggal 1 Maret 2017, Bapak datang kembali seorang diri untuk melanjutkan proses pernikahan.
Pertemuan kedua itu menentukan tanggal pernikahan dan InsyaAllah pernikahan akan dilangsungkan tanggal 24 April 2017.
Selama proses pra nikah, aku belum pernah bertemu dengan calon ibu mertuaku, calon adik iparku, dan keluarga besarnya. Aku hanya baru mengenal ayahnya saja. Memang terdengar aneh, tapi ada keyakinan yang amat besar, bahwa ia adalah orang yang baik meskipun aku belum pernah bertemu dengan seluruh keluarganya.
Alhamdulillah, 24 April 2017 berlangsung ikrar agung dihadapan hamba-hamba Allah yang soleh.
Semoga ikatan suci ini dapat menguatkan agama kami, dan menjadi jalan kami menuju syurga-Mu.
Ya Rabb... bimbinglah kami :')
15 Juni 2016
Cinta atau Persahabatan?
Terimakasih kepada sahabat yang setia membaca blog ini.
Masihkah sahabat ingat tentang sebuah kisah pengorbanan yang agung antara Salman Alfarisi dengan sahabatnya Abu Darda?
Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu adalah seorang pemuda dari Persia. Dia adalah mantan budak di Isfahan, sebuah daerah di Persia. Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu adalah sahabat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam yang
spesial. Dia terkenal dengan kecerdikannya dalam mengusulkan penggalian
parit di sekeliling kota Madinah ketika kaum kafir Quraisy Mekkah
bersama pasukan sekutunya datang menyerbu Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin dalam perang Khandaq. Dua puluh empat ribu pasukan musuh dibuat porak – poranda. Berkat parit yang diusulkan Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu disertai
pertolongan Allah Ta’alaa yang mendatangkan angin topan. Musuh – musuh
agama Allah Ta’alaa itu pulang dengan tangan hampa. Hati mereka kecewa
karena kalah. Sejak itu nama Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu makin bersinar di kalangan sahabat.
Kisah cinta Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu terjadi ketika Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin hijrah menuju kota Madinah. Di kota inilah Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu berniat untuk menggenapkan separuh agamanya. Diam – diam Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu menaruh
perasaan cinta kepada seorang wanita muslimah Madinah nan sholihah
(dari kalangan Anshar). Maka dia pun memantapkan niatnya untuk melamar
wanita tersebut. Hanya saja ada sesuatu yang mengganjal di hati Salman
Al Farisi Radhiallahu’anhu ketika hendak melamar, yaitu dia merasa “asing”. Artinya dia tidak mengetahui bagaimanakah adat
melamar wanita di kalangan masyarakat Madinah? Bagaimana tradisi Anshar
saat mengkhitbah wanita? Demikian yang dipikirkan Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu.
Dia tak tahu menahu mengenai budaya di kota yang baru ini. Tentu saja
tak bisa sembarangan tiba – tiba datang mengkhitbah wanita tanpa
persiapan matang.
Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu pun kemudian mendatangi seorang sahabatnya yang merupakan penduduk asli Madinah, yaitu Abu Darda’ Radhiallahu’anhu. Ia bermaksud meminta bantuan Abu Darda’ Radhiallahu’anhu untuk menemaninya saat mengkhitbah wanita impiannya. Mendengar cerita sahabatnya tersebut, Abu Darda’ Radhiallahu’anhu pun begitu girang. “Subhanallah wa Alhamdulillah”, ujarnya begitu senang mendengar sahabatnya berencana untuk menikah. Ia pun memeluk Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu dan bersedia membantu dan mendukungnya. Tak ada perasaan ragu, canggung, atau bahkan menolak dalam diri seorang Abu Darda’ Radhiallahu’anhu. Inilah kesempatan Abu Darda’ Radhiallahu’anhu untuk membantu saudara seimannya. Betapa indahnya ukhuwah islamiyah.
Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba Nya selama hamba Nya itu suka menolong saudaranya”. (HR Muslim)
Drama dimulai…
Setelah beberapa hari mempersiapkan segala sesuatu, Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu pun mendatangi rumah sang gadis dengan ditemani Abu Darda’ Radhiallahu’anhu.
Keduanya begitu gembira selama perjalanan. Setiba di rumah wanita
sholihah tersebut, keduanya pun diterima dengan baik oleh tuan rumah,
dalam hal ini adalah orang tua wanita Anshar tersebut. “Saya
adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman Al Farisi dari
Persia yang telah berhijrah ke Madinah karena Allah dan Rasul-Nya. Allah
telah memuliakan Salman Al Farisi dengan Islam. Salman Al Farisi juga
telah memuliakan Islam dengan jihad dan amalannya. Ia memiliki hubungan
dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menganggapnya sebagai ahlul bait (keluarga) nya”, ujar Abu Darda’ Radhiallahu’anhu menggunakan dialek bahasa Arab setempat dengan sangat lancar dan fasih. “Saya datang mewakili saudara saya, Salman Al Farisi, untuk melamar putri anda”, lanjut Abu Darda’ Radhiallahu’anhu kepada wali si wanita, menjelaskan maksud kedatangan mereka.
Mendengarnya, si tuan rumah merasa terhormat. Tentu saja, ia kedatangan dua orang sahabat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam yang utama. Salah satunya bahkan berkeinginan melamar putrinya. “Sebuah kehormatan bagi kami menerima sahabat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Sebuah kehormatan pula bagi keluarga kami jika memiliki menantu dari kalangan sahabat”, ujar ayah si wanita. Namun sang ayah tidaklah kemudian segera menerimanya. Seperti yang diajarkan Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam, ia harus bertanya pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Meski yang datang adalah seorang sahabat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam, sang ayah tetap meminta persetujuan sang putri. “Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami”, ujarnya kepada Abu Darda’ Radhiallahu’anhu dan Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu.
***
Sang
ayah pun kemudian memberikan isyarat kepada istri dan putrinya yang
berada dibalik hijab. Rupanya, putrinya telah mendengar percakapan
ayahya dengan Abu Darda’ Radhiallahu’anhu. Wanita muslimah tersebut ternyata juga telah memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya, Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu. Berdebar jantung Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu menunggu jawaban dari balik hijab, gelisah Abu Darda’ Radhiallahu’anhu menatap
wajah ayah si gadis. Maka segalanya menjadi jelas dan terang ketika
terdengar suara lemah lembut keibuan, ternyata sang bunda yang mewakili
putrinya untuk menjawab pinangan Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu. Mewakili sang putri, ibundanya pun berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus terang”, ujarnya membuat Salman Al Farisi dan Abu Darda’ Radhiallahu’anhum tegang menanti jawaban. Merupakan sifat yang manusiawi, karena Salman Al Farisi dan Abu Darda’ Radhiallahu’anhum hanyalah manusia biasa juga seperti kita. Maka perasaan tegang, deg – degan dan gelisah pun menyeruak dalam diri mereka.
Sang ibunda melanjutkan jawaban putrinya, “Namun
karena kalian berdualah yang datang dan mengharap ridha Allah, saya
ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda’
memiliki keinginan yang sama seperti Salman” kata ibu si wanita sholihah idaman Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu. Wanita yang dia idam – idamkan untuk menjadi istrinya, wanita yang karenanya ia meminta bantuan Abu Darda’ Radhiallahu’anhu untuk membantu pinangannya, namun justru wanita itu memilih Abu Darda’ Radhiallahu’anhu, untuk menjadi calon suaminya. Padahal Abu Darda’ Radhiallahu’anhu hanya sekedar menemani dan membantu Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu untuk
mengkhitbah. Namun ternyata takdir Allah Ta’ala berkehendak lain. Cinta
bertepuk sebelah tangan, bunga – bunga cinta yang selama ini dijaga dan
akan diberikan kepada sang wanita idaman pun layu. Tetapi itulah
ketetapan Allah menjadi rahasia-Nya, yang tidak pernah diketahui oleh
siapapun kecuali oleh Allah Ta’alaa; mati kita, rizki kita, dan jodoh
kita. Semuanya penuh tanda tanya besar bagi manusia.
Jika seperti pria pada umumnya, maka hati Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu pasti hancur berkeping – keping. Ia akan merasakan patah hati yang teramat sangat. Namun bagaimanakah dengan Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu? Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu merupakan pria sholih, taat, dan seorang mulia dari kalangan sahabat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan ketegaran hati yang luar biasa ia justru menjawab, “Allahu Akbar!”, seru Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu girang. Tak hanya itu, Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu justru
menawarkan bantuan untuk pernikahan keduanya. Tanpa perasaan hati yang
hancur, ia memberikan semua harta benda yang ia siapkan untuk menikahi
si wanita itu. “Semua mahar dan nafkah yang aku persiapkan akan aku berikan kepada Abu Darda’. Aku juga akan menjadi saksi pernikahan kalian”, ujar Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu dengan kelapangan hati yang begitu hebat.
***
Allahu Akbar…
Inilah sebuah contoh kisah cinta sejati
karena Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Sebuah kisah yang pantas untuk
dijadikan pelajaran dan diambil hikmahnya. Sebuah kisah yang
memperlihatkan kepada kita betapa ukhuwah islamiyah serta kecintaan
kepada saudara seiman dan se-aqidah, akan mengalahkan ego diri sendiri.
Tentunya apa yang diperlihatkan oleh Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu adalah bentuk pengamalan sabda Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam :
Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (HR Bukhari)
Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu adalah
sosok lelaki sholih, pejuang Islam, yang ketika masa kejayaan Islam,
ketika banyak timbunan harta negara di baitul maal yang berlimpah ruah,
ketika peluang jabatan – jabatan pemerintahan terbuka lebar, dia memilih
menganyam daun kurma untuk dijadikan keranjang untuk dijualnya, padahal
dia diberikan tunjangan oleh negara empat sampai enam ribu dirham
setahun, tetapi semuanya disumbangkan habis, satu dirhampun tidak
diambil untuk dirinya dan keluarganya
Betapa indahnya kebesaran hati Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu.
Ia begitu faham bahwa cinta, betapa pun besarnya, kepada seorang wanita
tidaklah serta merta memberinya hak untuk memiliki. Sebelum lamaran
diterima, sebelum ijab qabul diikrarkan, tidaklah cinta
menghalalkan hubungan dua insan. Ia juga sangat faham akan arti
persahabatan sejati. Apalagi Abu Darda’ Radhiallahu’anhu telah dipersaudarakan oleh Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam dengannya.
Bukanlah seorang saudara jika ia tidak turut bergembira atas
kebahagiaan saudaranya. Bukanlah saudara jika ia merasa dengki atas
kebahagiaan dan nikmat atas saudaranya. Semoga kita bisa meneladani
sosok Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu dan berdoa agar kelak berjumpa dengannya beserta Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam di dalam surga-Nya yang tertinggi. Barakallahu fiikum
31 Januari 2016
BERSABAR DALAM KEGELAPAN
Aku masih belum dapat memahami
mengapa aku ditempatkan ditempat seperti ini.
Gelap, pekat, tak ada sedikitpun cahaya
yang dapat kutemui....
Tak ada sedikitpun embun yang
dapat menyejukkan hati...
Aku masih selalu berharap dalam
setiap do’aku
Agar Allah menempatkan aku di
tempat yang lebih baik, yang dapat menentramkan hati...
Agar Allah dapat menempatkan aku
di tempat yang mensucikan diri...
Mungkin aku harus lebih bersabar...
Sabar.... Sabar.... Entah sampai kapan......
14 September 2015
Cinta Suci Ali dan Fatimah
Ada rahasia terdalam di
hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri
tersayang dari Sang Nabi sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya,
kecekatan kerjanya, parasnya sangat Mengagumkan!
Ali tak tahu apakah
rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia tersentak
ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah, sang wanita
yang dikaguminya dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat
kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa
sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr
Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu”
Ali hanya bergumam,
“mungkin Allah sedang mengujiku”, Ia merasa diuji karena merasa apalah ia
dibanding Abu Bakar.
Dari sisi finansial,
Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah, putri
kesayangan Rasulullah...
‘Ali hanya pemuda
miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali.
“Aku mengutamakan Abu
Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Ya... Cinta tak pernah
meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah
keberanian, atau pengorbanan....
Beberapa waktu berlalu,
ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di Ali yang sempat layu.
Mendengar Lamaran Abu Bakr ditolak.
’Ali terus menjaga
semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Namun, ujian itu
rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah seorang laki-laki
lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat
kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat
syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut. Ia datang untuk melamar
Fathimah
Dialah ‘Umar ibn Al
Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang
melamar Fathimah.
Betapa tinggi
kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang
banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti
Rasulillah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.
Namun ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak.
Namun ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak.
Lalu, Menantu macam apa
kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang
telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah,
saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah
itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
“Mengapa bukan engkau
yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
“Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang
ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. “
“Aku?”, tanyanya tak
yakin.
“Ya. Engkau wahai
saudaraku!”
Tapi... “Aku hanya
pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
Apakah aku bisa
membahagiakan Fatimah?
‘Ali pun menghadap Sang
Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi
Fathimah.
Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi
tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana
ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau
tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di
batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua
sekarang.
“Engkau pemuda sejati
wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab
atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda
yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab,
“Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
ia pun bingung. Apa
maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat
penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun
bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu
resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang
tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa
pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi
kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah
‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
“Wahai Ali, kami satu
saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan
juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”
Ali tak percaya, bahwa
cintanya direstui sang baginda.
‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan
menggadaikan baju besinya.
dalam suatu riwayat
dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada
‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh
cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan
berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda
itu?”
Sambil tersenyum
Fathimah berkata, “Aku mau menikah denganmu, karena pemuda yang pernah aku
cintai adalah DIRIMU!”
Subhanallah, kisah
cinta seperti apa lagi yang lebih indah selain kisah cinta Ali dan Fathimah...
Langganan:
Postingan (Atom)