Terimakasih kepada sahabat yang setia membaca blog ini.
Masihkah sahabat ingat tentang sebuah kisah pengorbanan yang agung antara Salman Alfarisi dengan sahabatnya Abu Darda?
Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu adalah seorang pemuda dari Persia. Dia adalah mantan budak di Isfahan, sebuah daerah di Persia. Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu adalah sahabat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam yang
spesial. Dia terkenal dengan kecerdikannya dalam mengusulkan penggalian
parit di sekeliling kota Madinah ketika kaum kafir Quraisy Mekkah
bersama pasukan sekutunya datang menyerbu Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin dalam perang Khandaq. Dua puluh empat ribu pasukan musuh dibuat porak – poranda. Berkat parit yang diusulkan Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu disertai
pertolongan Allah Ta’alaa yang mendatangkan angin topan. Musuh – musuh
agama Allah Ta’alaa itu pulang dengan tangan hampa. Hati mereka kecewa
karena kalah. Sejak itu nama Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu makin bersinar di kalangan sahabat.
Kisah cinta Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu terjadi ketika Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin hijrah menuju kota Madinah. Di kota inilah Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu berniat untuk menggenapkan separuh agamanya. Diam – diam Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu menaruh
perasaan cinta kepada seorang wanita muslimah Madinah nan sholihah
(dari kalangan Anshar). Maka dia pun memantapkan niatnya untuk melamar
wanita tersebut. Hanya saja ada sesuatu yang mengganjal di hati Salman
Al Farisi Radhiallahu’anhu ketika hendak melamar, yaitu dia merasa “asing”. Artinya dia tidak mengetahui bagaimanakah adat
melamar wanita di kalangan masyarakat Madinah? Bagaimana tradisi Anshar
saat mengkhitbah wanita? Demikian yang dipikirkan Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu.
Dia tak tahu menahu mengenai budaya di kota yang baru ini. Tentu saja
tak bisa sembarangan tiba – tiba datang mengkhitbah wanita tanpa
persiapan matang.
Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu pun kemudian mendatangi seorang sahabatnya yang merupakan penduduk asli Madinah, yaitu Abu Darda’ Radhiallahu’anhu. Ia bermaksud meminta bantuan Abu Darda’ Radhiallahu’anhu untuk menemaninya saat mengkhitbah wanita impiannya. Mendengar cerita sahabatnya tersebut, Abu Darda’ Radhiallahu’anhu pun begitu girang. “Subhanallah wa Alhamdulillah”, ujarnya begitu senang mendengar sahabatnya berencana untuk menikah. Ia pun memeluk Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu dan bersedia membantu dan mendukungnya. Tak ada perasaan ragu, canggung, atau bahkan menolak dalam diri seorang Abu Darda’ Radhiallahu’anhu. Inilah kesempatan Abu Darda’ Radhiallahu’anhu untuk membantu saudara seimannya. Betapa indahnya ukhuwah islamiyah.
Barang siapa yang melepaskan satu kesusahan seorang mukmin, pasti Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan pada hari kiamat. Barang siapa yang menjadikan mudah urusan orang lain, pasti Allah akan memudahkannya di dunia dan di akhirat. Barang siapa yang menutupi aib seorang muslim, pasti Allah akan menutupi aibnya di dunia dan di akhirat. Allah senantiasa menolong hamba Nya selama hamba Nya itu suka menolong saudaranya”. (HR Muslim)
Drama dimulai…
Setelah beberapa hari mempersiapkan segala sesuatu, Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu pun mendatangi rumah sang gadis dengan ditemani Abu Darda’ Radhiallahu’anhu.
Keduanya begitu gembira selama perjalanan. Setiba di rumah wanita
sholihah tersebut, keduanya pun diterima dengan baik oleh tuan rumah,
dalam hal ini adalah orang tua wanita Anshar tersebut. “Saya
adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman Al Farisi dari
Persia yang telah berhijrah ke Madinah karena Allah dan Rasul-Nya. Allah
telah memuliakan Salman Al Farisi dengan Islam. Salman Al Farisi juga
telah memuliakan Islam dengan jihad dan amalannya. Ia memiliki hubungan
dekat dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menganggapnya sebagai ahlul bait (keluarga) nya”, ujar Abu Darda’ Radhiallahu’anhu menggunakan dialek bahasa Arab setempat dengan sangat lancar dan fasih. “Saya datang mewakili saudara saya, Salman Al Farisi, untuk melamar putri anda”, lanjut Abu Darda’ Radhiallahu’anhu kepada wali si wanita, menjelaskan maksud kedatangan mereka.
Mendengarnya, si tuan rumah merasa terhormat. Tentu saja, ia kedatangan dua orang sahabat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam yang utama. Salah satunya bahkan berkeinginan melamar putrinya. “Sebuah kehormatan bagi kami menerima sahabat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Sebuah kehormatan pula bagi keluarga kami jika memiliki menantu dari kalangan sahabat”, ujar ayah si wanita. Namun sang ayah tidaklah kemudian segera menerimanya. Seperti yang diajarkan Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam, ia harus bertanya pendapat putrinya mengenai lamaran tersebut. Meski yang datang adalah seorang sahabat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam, sang ayah tetap meminta persetujuan sang putri. “Jawaban lamaran ini merupakan hak putri kami sepenuhnya. Oleh karena itu, saya serahkan kepada putri kami”, ujarnya kepada Abu Darda’ Radhiallahu’anhu dan Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu.
***
Sang
ayah pun kemudian memberikan isyarat kepada istri dan putrinya yang
berada dibalik hijab. Rupanya, putrinya telah mendengar percakapan
ayahya dengan Abu Darda’ Radhiallahu’anhu. Wanita muslimah tersebut ternyata juga telah memberikan pendapatnya mengenai pria yang melamarnya, Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu. Berdebar jantung Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu menunggu jawaban dari balik hijab, gelisah Abu Darda’ Radhiallahu’anhu menatap
wajah ayah si gadis. Maka segalanya menjadi jelas dan terang ketika
terdengar suara lemah lembut keibuan, ternyata sang bunda yang mewakili
putrinya untuk menjawab pinangan Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu. Mewakili sang putri, ibundanya pun berkata, “Mohon maaf kami perlu berterus terang”, ujarnya membuat Salman Al Farisi dan Abu Darda’ Radhiallahu’anhum tegang menanti jawaban. Merupakan sifat yang manusiawi, karena Salman Al Farisi dan Abu Darda’ Radhiallahu’anhum hanyalah manusia biasa juga seperti kita. Maka perasaan tegang, deg – degan dan gelisah pun menyeruak dalam diri mereka.
Sang ibunda melanjutkan jawaban putrinya, “Namun
karena kalian berdualah yang datang dan mengharap ridha Allah, saya
ingin menyampaikan bahwa putri kami akan menjawab iya jika Abu Darda’
memiliki keinginan yang sama seperti Salman” kata ibu si wanita sholihah idaman Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu. Wanita yang dia idam – idamkan untuk menjadi istrinya, wanita yang karenanya ia meminta bantuan Abu Darda’ Radhiallahu’anhu untuk membantu pinangannya, namun justru wanita itu memilih Abu Darda’ Radhiallahu’anhu, untuk menjadi calon suaminya. Padahal Abu Darda’ Radhiallahu’anhu hanya sekedar menemani dan membantu Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu untuk
mengkhitbah. Namun ternyata takdir Allah Ta’ala berkehendak lain. Cinta
bertepuk sebelah tangan, bunga – bunga cinta yang selama ini dijaga dan
akan diberikan kepada sang wanita idaman pun layu. Tetapi itulah
ketetapan Allah menjadi rahasia-Nya, yang tidak pernah diketahui oleh
siapapun kecuali oleh Allah Ta’alaa; mati kita, rizki kita, dan jodoh
kita. Semuanya penuh tanda tanya besar bagi manusia.
Jika seperti pria pada umumnya, maka hati Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu pasti hancur berkeping – keping. Ia akan merasakan patah hati yang teramat sangat. Namun bagaimanakah dengan Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu? Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu merupakan pria sholih, taat, dan seorang mulia dari kalangan sahabat Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam. Dengan ketegaran hati yang luar biasa ia justru menjawab, “Allahu Akbar!”, seru Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu girang. Tak hanya itu, Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu justru
menawarkan bantuan untuk pernikahan keduanya. Tanpa perasaan hati yang
hancur, ia memberikan semua harta benda yang ia siapkan untuk menikahi
si wanita itu. “Semua mahar dan nafkah yang aku persiapkan akan aku berikan kepada Abu Darda’. Aku juga akan menjadi saksi pernikahan kalian”, ujar Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu dengan kelapangan hati yang begitu hebat.
***
Allahu Akbar…
Inilah sebuah contoh kisah cinta sejati
karena Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Sebuah kisah yang pantas untuk
dijadikan pelajaran dan diambil hikmahnya. Sebuah kisah yang
memperlihatkan kepada kita betapa ukhuwah islamiyah serta kecintaan
kepada saudara seiman dan se-aqidah, akan mengalahkan ego diri sendiri.
Tentunya apa yang diperlihatkan oleh Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu adalah bentuk pengamalan sabda Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam :
Tidaklah seseorang dari kalian sempurna imannya, sampai ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang ia cintai untuk dirinya.” (HR Bukhari)
Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu adalah
sosok lelaki sholih, pejuang Islam, yang ketika masa kejayaan Islam,
ketika banyak timbunan harta negara di baitul maal yang berlimpah ruah,
ketika peluang jabatan – jabatan pemerintahan terbuka lebar, dia memilih
menganyam daun kurma untuk dijadikan keranjang untuk dijualnya, padahal
dia diberikan tunjangan oleh negara empat sampai enam ribu dirham
setahun, tetapi semuanya disumbangkan habis, satu dirhampun tidak
diambil untuk dirinya dan keluarganya
Betapa indahnya kebesaran hati Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu.
Ia begitu faham bahwa cinta, betapa pun besarnya, kepada seorang wanita
tidaklah serta merta memberinya hak untuk memiliki. Sebelum lamaran
diterima, sebelum ijab qabul diikrarkan, tidaklah cinta
menghalalkan hubungan dua insan. Ia juga sangat faham akan arti
persahabatan sejati. Apalagi Abu Darda’ Radhiallahu’anhu telah dipersaudarakan oleh Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam dengannya.
Bukanlah seorang saudara jika ia tidak turut bergembira atas
kebahagiaan saudaranya. Bukanlah saudara jika ia merasa dengki atas
kebahagiaan dan nikmat atas saudaranya. Semoga kita bisa meneladani
sosok Salman Al Farisi Radhiallahu’anhu dan berdoa agar kelak berjumpa dengannya beserta Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa sallam di dalam surga-Nya yang tertinggi. Barakallahu fiikum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar