Ada rahasia terdalam di
hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri
tersayang dari Sang Nabi sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya,
kecekatan kerjanya, parasnya sangat Mengagumkan!
Ali tak tahu apakah
rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia tersentak
ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah, sang wanita
yang dikaguminya dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat
kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa
sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr
Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu”
Ali hanya bergumam,
“mungkin Allah sedang mengujiku”, Ia merasa diuji karena merasa apalah ia
dibanding Abu Bakar.
Dari sisi finansial,
Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah, putri
kesayangan Rasulullah...
‘Ali hanya pemuda
miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali.
“Aku mengutamakan Abu
Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Ya... Cinta tak pernah
meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah
keberanian, atau pengorbanan....
Beberapa waktu berlalu,
ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di Ali yang sempat layu.
Mendengar Lamaran Abu Bakr ditolak.
’Ali terus menjaga
semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Namun, ujian itu
rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah seorang laki-laki
lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat
kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat
syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut. Ia datang untuk melamar
Fathimah
Dialah ‘Umar ibn Al
Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang
melamar Fathimah.
Betapa tinggi
kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang
banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti
Rasulillah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.
Namun ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak.
Namun ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak.
Lalu, Menantu macam apa
kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang
telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah,
saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah
itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
“Mengapa bukan engkau
yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan.
“Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang
ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. “
“Aku?”, tanyanya tak
yakin.
“Ya. Engkau wahai
saudaraku!”
Tapi... “Aku hanya
pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
Apakah aku bisa
membahagiakan Fatimah?
‘Ali pun menghadap Sang
Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi
Fathimah.
Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi
tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana
ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau
tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di
batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua
sekarang.
“Engkau pemuda sejati
wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab
atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda
yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab,
“Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
ia pun bingung. Apa
maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat
penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun
bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu
resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang
tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa
pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi
kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah
‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
“Wahai Ali, kami satu
saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan
juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”
Ali tak percaya, bahwa
cintanya direstui sang baginda.
‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan
menggadaikan baju besinya.
dalam suatu riwayat
dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada
‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh
cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan
berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda
itu?”
Sambil tersenyum
Fathimah berkata, “Aku mau menikah denganmu, karena pemuda yang pernah aku
cintai adalah DIRIMU!”
Subhanallah, kisah
cinta seperti apa lagi yang lebih indah selain kisah cinta Ali dan Fathimah...