Aku memanggilmu hitam bukan karena
aku tak sayang padamu. Justru karena kau kusayang, aku ingin kau tetap hitam,
tak mau putih, merah, atau warna yang
lainnya. Aku ingin tetap engkau, yang akan temani dalam perjuanganku, yang akan
tetap menjadi saksi, pahit manisku dalam menuntut ilmu. Aku akan berusaha
menjagamu, aku akan berusaha merawatmu dengan sebaik-baiknya perawatan. Jangan
tinggalkan aku hitam… seperti Qisthy tinggalkan teh Ade.
Rabu siang itu aku terkejut dengan
pesan singkat yang teh Ade kirim padaku “Vie, kamar teteh ada yang bobol.
Qisthy (laptop) teteh hilang. Insya Allah akan segera diganti sama Allah. Vie
jangan bilang Abah Ibu dulu ya…”.
Aku
yang ketika itu sedang kuliah segera bergegas meninggalkan ruangan dan segera
menelfon Teh Ade. Aku tau betapa the ade menyayangi Qisthy, laptop putih yang
baru dimilikinya 7 bulan itu ia beri nama Qisthy, yang berarti Istiqomah.
Berharap agar Qisthy dapat menemani Teh Ade dalam perjuangannya menjadi
muslimah yang istiqomah dalam ketaatan kepada-Nya. Namun sayang, tak lama ia
bersamanya, Qisthy harus direnggut paksa oleh tangan manusia durhaka.
Aku
bergegas merapikan tas meski perkuliahan masih berlangsung. Aku harus segera ke
Bandung saat itu juga. Rasanya aku ingin langsung memeluk Teh Ade yang sudah
seperti bagian dari tubuhku, tak rela ia disakiti, tak rela ketika air mata
jatuh dipipi. “Teh… Sabar ya, fifi akan segera ke Bandung, teteh jangan nangis
lagi” ucapku sedikit parau sebelum menutup percakapan di telfon.
Aku
tahu betul sifat kakakku yang satu ini. Ia adalah akhwat berhati lembut yang
mudah tersakiti. Jangankan kehilangan Qisthy, bicara dengan nada agak tinggi
pun ia akan langsung menundukkan wajah tanda tak setuju dengan percakapan,
namun tak kuasa untuk melawan.
Entah
mengapa, perjalananku ke Bandung saat itu agak sedikit dipersulit. Ketika aku
telah rapi untuk berangkat, kaki ku menabrak pecah gelas kaca yang tergeletak
di lantai kamarku. Oh no, untungnya pecahan kaca ini tidak mengenai kakiku.
Segera kurapikan, dan tanpa pamit aku segera angkat kaki dari ruangan.
Satu
jam lebih aku berdiri ditepi jalan dan bis belum juga datang. “Ya Allah… bantu
aku…” aku sudah mulai gusar karena jam ditanganku menunjukkan pukul 14.00. Namun tak lama setelah itu, bis Bekasi-Bandung
datang. Alhamdulillah… hela nafasku lega.
Sepanjang
perjalanan, tanganku tak henti berkirim sms dengan kakak pertamaku di Garut,
mencoba menyampaikan informasi dengan halus. “Brruukkk!!!” Bis yang aku
tunggangi menabrak bagian belakang sedan putih didepannya. Karena lengah, Aku
yang saat itu duduk dikursi terdepan tak kuat untuk menahan, akhirnya kepalaku
terbentur besi putih yang biasa digunakan untuk pegangan. “Astagfirullah… kepalaku
berdarah…” lirihku parau menahan rasa sakit.
Ibu
dengan seorang anak kecil digendongannya berusaha membantu mengusap darah yang
mengalir dikeningku. “Ya Allah neng, sakit ya… Sini ibu bantu bersihkan” Ucap
sang Ibu sambil mengusap keningku dengan sapu tangannya. Penumpang yang lain
gusar dengan keadaan yang memanas. Supir bis turun dari bis dan mencoba
mengecek apa yang terjadi. Untunglah bisa diselesaikan dengan cara
kekeluargaan. Tak perlu berurusan dengan polisi, tabrakan kecil itu pun dapat
teratasi. Namun kepalaku masih terasa sakit meski darah mulai berhenti.
“Ya
Allah… Apa kuurungkan saja niatku untuk ke Bandung? Mengapa perjalanan ini
terasa sulit? Mudahkanlah aku Ya Allah…” Tak terasa, air mataku jatuh di pipi.
Aku berusaha menahan rasa sakit karena tak mungkin aku kembali setelah setengah
perjalanan ini. Angin menghembus lembut diiringi lantunan murottal dari headset
yang kupasang ditelingaku. Tak terasa, aku tertidur.
Bersambung…