Social Icons

Pages

14 September 2015

Cinta Suci Ali dan Fatimah



Ada rahasia terdalam di hati Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya sangat Mengagumkan!

Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta.
Tapi, ia tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan.
Fathimah, sang wanita yang dikaguminya dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu”

Ali hanya bergumam, “mungkin Allah sedang mengujiku”, Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar.
Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah, putri kesayangan Rasulullah...
‘Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ‘Ali.
“Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Ya... Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan....

Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di Ali yang sempat layu. Mendengar Lamaran Abu Bakr ditolak.

’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri.
Namun, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut. Ia datang untuk melamar Fathimah
Dialah ‘Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah.
‘Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ‘Umar jauh lebih layak. Dan ‘Ali ridha.

Namun ‘Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ‘Umar juga ditolak.
Lalu, Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ‘Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. “
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
Tapi... “Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
Apakah aku bisa membahagiakan Fatimah?

‘Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah.
Ya, menikahi.
Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
“Engkau pemuda sejati wahai ‘Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya.
Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi.
ia pun bingung. Apa maksudnya? Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan.
Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah..”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah ‘Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban!”
“Wahai Ali, kami satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”
Ali tak percaya, bahwa cintanya direstui sang baginda.
 ‘Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya.

dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda”
‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Aku mau menikah denganmu, karena pemuda yang pernah aku cintai adalah DIRIMU!”
Subhanallah, kisah cinta seperti apa lagi yang lebih indah selain kisah cinta Ali dan Fathimah...

5 September 2015

Usah Kau Jadi Langit...

Kadang aku berfikir, betapa indah menjadi langit...
Ia menaungi seluruh alam semesta atas perintah Sang Pencipta
Ia senantiasa tunduk atas titah Ilahi Rabbi
Tanpa pernah mengingkari...

Namun, kadang langit juga menangis...
Tetes-tetes air matanya sampai terasa di permukaan bumi,
itulah yang kita sebut dengan hujan...

Kadang, langit juga marah...
Amuk marahnya hingga meletupkan suara dan kilatan yang menyambar
Itulah yang kita sebut dengan guntur dan petir...

 Allah menciptakan semua makhluk
dan memberikan amanah sesuai dengan kemampuannya
usah mengeluh dan iri dengan makhluk yang lain

Karena langit, hujan, angin, petir,
semua berlomba mengharap cinta Rabb-Nya...
Tidakkah kau ingin seperti mereka?

Bersyukur dan tataplah masa depan!

Rabbi... tetaplah selalu denganku... :')

Vie

Guru Teladanku...

Kemarin sore ketika saya mengeluh capeknya menjadi seorang guru, kakek saya langsung bercerita kisah 55 tahun yg lalu ketika beliau pertamakali di tempatkan di desa ini.
Beliau satu-satunya guru SD yg di tempatkan di SD terpencil pun dengan keadaan gedung sekolah yg hampir ambruk.

Setiap hari beliau mengajar 6 kelas dengan kelas yg di sekat2. Berharap diantara anak2 ini akan ada generasi emas yg akan membangun negri ini.
Gedung yg hampir ambruk akhirnya ambruk dihantam hujan & angin.


Betapa tidak, satu-satunya gedung yg jadi penopang kegiatan belajar rata dengan tanah. Kakek berjalan mengelilingi reruntuhan gedung sambil meneteskan air mata.
Kursi, meja, lemari, papan, kayu, genteng, semuanya hancur.

Pemerintah setempat malah menawarkan kakek untuk pindah tugas dan meninggalkan sekolah ambruk itu.
Diantara reruntuhan gedung, kakek menangis sambil mengusap-usap sisa-sisa bangunan. Emosi bercabik, Apakah harus sekolah ini di tutup dan saya pergi ke tempat yg lebih baik? Ataukah saya harus bertahan disini?

Ditengah kegalauannya, kakek menemukan papan tulis yg masih kokoh ditengah reruntuhan.
Yg seolah menjawab pertanyaannya.
Kakek bergumam "papan tulis ini bertahan meski di terpa hujan angin. Ia kuat disaat yg lain rapuh, papan, saya akan berjuang bersamamu!" Gumam kakek.

Dengan usaha dan swadaya masyarakat, Alhamdulillah sekolah ambruk dapat kembali berdiri kokoh.
 Hingga kini,sekolah itu masih ada, dan saya pun menjadi satu dari ratusan alumninya.

Tak terasa air mata menetes mendengar cerita kakek. Betapa saya belum berjuang apa2 dibanding kakek...
Thanks my Grandfa... you're my everything... :')

Vie
 

Instrumen

LEAF

,
 
Blogger Templates